Pages

Sabtu, 05 Maret 2011

Lin Dan

Lin Dan, adalah pemain badminton dari Fujian, Republik Rakyat Cina. Lin kini merupakan pemain tunggal paling dominan di panggung dunia, sejak tahun 2004, ia berada di posisi 1 di dunia selama dua tahun, dan memenangkan banyak turnamen. Pada Oktober 2006, Lin Dan mendapatkan kembali posisi pertama di dunia, setelah sempat dikalahkan oleh Lee Chong Wei dari Malaysia.

Andaikan kalah pun dari Chen Jin pada final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis di Hyderabad, India, Minggu (16/8) malam, nama Lin Dan masih pantas masuk catatan. Pemain China kelahiran Longyan, Fujian, berusia 26 tahun itu (lahir 14 Oktober 1983) memang memiliki sesuatu yang tidak dipunyai pemain lain: prestasinya yang tak tertandingi. Sedikitnya, dia sudah empat kali menjadi finalis kejuaraan dunia.
Akhirnya, Lin Dan menumbangkan rekannya sesama China, Chen Jin, dengan skor 21-18, 21-16. Dengan kemenangannya kali ini berarti pemain dengan tinggi 1,78 meter dan berat 72 kilogram tersebut meraih gelar juara dunia ketiga kalinya berturut-turut (sebelumnya di Madrid 2006 dan Kuala Lumpur 2007), sebuah prestasi langka dari seorang pemain tunggal putra. Yang pernah merebut dua gelar sebelumnya adalah Yang Yang (1987 dan 1989).

Lalu, pada kejuaraan perseorangan paling bergengsi, All England, Lin Dan pula yang terbesar untuk abad ke-21: empat kali menjadi juara, tahun 2004, 2006, 2007, dan 2009.
Tidak ada pemain lain berprestasi seperti Lin Dan setelah tahun 2000 ini. Jangan lupa juga, dia juara Olimpiade Beijing 2008. Dia juga merebut gelar pada berbagai kejuaraan lain. Juga mengantar timnya merebut tiga kali Piala Thomas dan lima kali Piala Sudirman.
Orang di Cina menyebut dia ”Super Dan” karena prestasinya yang luar biasa itu. Barangkali sama dengan sebutan ”Maestro” bagi pemain kita, Rudy Hartono, ketika tahun 70-an mengantongi gelar juara All England delapan kali. Kehebatan keduanya tidak tertandingi—pada masanya masing-masing.

Temperamental
Lin Dan pernah menjadi seorang anggota tentara. Tidak heran ketika memenangi medali emas Olimpiade Beijing 2008, ia memberi hormat dengan menempelkan tangan di keningnya: hormat seorang tentara. Sebagai seorang anggota Tentara Rakyat China, dia pun tidak lupa memakai lencana Ketua Mao.
Namun, sebagai tentara barangkali dia tidak terlalu disiplin. Boleh jadi juga karena memang dia temperamental. Lihatlah, misalnya, yang terjadi pada Kejuaraan Super Series Korea 2008. Merasa diperlakukan tidak adil oleh penjaga garis—saat kedudukan 20-20 pada set ketiga melawan pemain tuan rumah, Lee Hyun-ill—ia melakukan protes dengan memaki-maki dalam bahasa ibunya.
Li Mao, pelatih Korea asal China—yang tentu saja mengerti apa yang diucapkan Lin Dan— jadi naik pitam dan membalas dengan bahasa yang sejenis. Puncaknya: Lin Dan melempar raket ke arah Li Mao. Untung tidak kena.

Lin Dan juga pernah bertukar kata dengan pelatihnya, Ji Xinpeng. Merasa tidak dilatih sesuai dengan keinginannya, Lin Dan memarahi Ji Xinpeng. Terjadilah adu mulut dan bahkan adu fisik. Beruntung teman-teman Lin Dan berhasil meredam peristiwa itu sehingga tidak berlanjut. Lin Dan kemudian meminta maaf.
Pelatih Ji Xinpeng, perebut medali emas Olimpiade Sydney 2000, kemudian berkata bahwa untuk kepentingan negara dan kesatuan dan kemantapan tim, semua sepakat melupakan hal itu. Semuanya tidak ingin memengaruhi persiapan Olimpiade.
Lin Dan juga seorang flamboyan, suka dengan ramai-ramai. Pakaiannya pun seperti seorang selebriti. Modis dan kadang berwarna-warni. Memang dia pantas berlaku demikian karena dia sudah termasuk kelompok itu untuk masyarakat di negaranya. Dia kini pun menjadi model untuk mobil merek Skoda buatan Ceko.

Kini dia berpacaran dengan pemain tunggal putri, Xie Xingfang, yang merebut medali perak Olimpiade Beijing 2008. Sayangnya, Xingfang di final Minggu malam tumbang dari Lu Lan, 23-21, 21-12. Kalau saja Xingfang merebut medali emas, pasangan Lin Dan-Xie Xingfang sama dengan pasangan emas Alan Budikusuma-Susy Susanti yang merebut medali emas Olimpiade Barcelona.

Tangan kiri
Lin Dan adalah pemain yang menggunakan tangan kiri, sama dengan pendahulunya yang juga sukses, Yang Yang dan Zhao Jianhua. Namun, berbeda dengan kedua seniornya, Lin Dan lebih berani berspekulasi ketika beradu dengan lawan. Barangkali ini karena sifatnya yang temperamental.
Dengan tinggi 1,78 meter— sama dengan Rudy Hartono— dan kelentukan serta keliatan tubuhnya memang Lin Dan mudah mencapai berbagai sudut lapangan. Ini juga karena ia dapat meregangkan tubuhnya sampai titik terbawah jatuhnya sebuah bola (shuttlecock).
Senjata utama Lin Dan adalah smesnya yang cepat, kadang susah diduga, dan tentu saja tajam. Jika dia meloncat dan raket dalam posisi menghadap ke muka (forehand), dia bisa melakukan apa saja. Bisa smes-kedut yang tajam ke sisi yang tak terduga, atau sebuah stopping- dropshot yang membuat lawan terbungkuk-bungkuk. Atau, bisa juga ke belakang menjadi sebuah lob-serang.
Pergelangan tangannya, seperti juga rata-rata pemain kidal lain, memang kuat dan karena itu menyulitkan lawan menerka pukulan.

Lebih super
Senjata lainnya adalah permainan jaringnya yang amat tipis. Lawan diajak bertarung dengan pukulan yang tipis di depan jaring. Jika lawan tidak melayani dengan ketipisan yang sama, misalnya naik sedikit di atas jaring, dengan cepat dia akan ’menerkam’ bola itu, membuat lawan tak sempat bereaksi sempurna.
Kecepatan itu jugalah yang menjadikan Lin Dan disegani lawan. Jika lawan tidak awas, sebuah bola yang tinggi pun bisa dihunjamkan dengan tajam. Atau, sebuah lob-serang yang tanggung dari lawan akan dipotongnya menjadi smes, sebuah serangan mematikan.

Seperti Rudy Hartono atau meniru pukulan Rudy Hartono, Lin Dan dan rekan-rekannya yang bertangan kiri akan memotong bola dengan around- the-head smash (smes dengan tangan di atas kepala dan raket menghadap ke depan meski bola berada di sisi kanan). Itu dia lakukan jika lawan terus memberi bola lob ke arah backhand (sisi kanan) dirinya.

Pencapaian Lin Dan memang luar biasa. Hanya pemain-pemain dengan kecepatan yang sama, kesempurnaan pukulan yang memadai, kesiapan fisik yang sempurna, dan konsentrasi yang tinggi mampu menandinginya. Taufik Hidayat dan Sony Dwi Kuncoro, sampai sejauh ini, masih kalah dalam soal itu. Apalagi Simon Santoso yang secara fisik kalah jauh.

Sumber : TD Asmadi Wartawan, Tinggal di Jakarta 
foto ke-2 : sisillybilly.blogspot.com
foto ke-3 : erin-loves.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar